‘Kalah’ Melawan Alquran, Dr Jeffrey Lang Menerima Islam
IslamIsLogic.wordpress.com
Sejak kecil Dr Jeffrey Lang dikenal ingin tahu. Ia kerap mempertanyakan
logika sesuatu dan mengkaji apa pun berdasarkan perspektif rasional.
“Ayah, surga itu ada?” tanya Jeffrey kecil suatu kali kepada ayahnya
tentang keberadaan surga, saat keduanya berjalan bersama anjing
peliharaan mereka di pantai. Bukan suatu kejutan jika kelak Jeffrey Lang menjadi profesor matematika, sebuah wilayah dimana tak ada tempat selain logika.
Saat menjadi siswa tahun terakhir di Notre Dam Boys High, sebuah SMA
Katholik, Jeffrey Lang memiliki keberatan rasional terhadap keyakinan
akan keberadaan Tuhan. Diskusi dengan pendeta sekolah, orangtuanya, dan
rekan sekelasnya tak juga bisa memuaskannya tentang keberadaan Tuhan.
“Tuhan akan membuatmu tertunduk, Jeffrey!” kata ayahnya ketika ia
membantah keberadaan Tuhan di usia 18 tahun.
Ia akhirnya
memutuskan menjadi atheis pada usia 18 tahun, yang berlangsung selama 10
tahun ke depan selama menjalani kuliah S1, S2, dan S3, hingga akhirnya
memeluk Islam.
Adalah beberapa saat sebelum atau sesudah
memutuskan menjadi atheis, Jeffrey Lang mengalami sebuah mimpi. Berikut
penuturan Jeffrey Lang tentang mimpinya itu:
Kami berada dalam sebuah ruangan tanpa perabotan. Tak ada apa pun di tembok ruangan itu yang berwarna putih agak abu-abu.
Satu-satunya ‘hiasan’ adalah karpet berpola dominan merah-putih yang
menutupi lantai. Ada sebuah jendela kecil, seperti jendela ruang bawah
tanah, yang terletak di atas dan menghadap ke kami. Cahaya terang
mengisi ruangan melalui jendela itu.
Kami membentuk deretan.
Saya berada di deret ketiga. Semuanya pria, tak ada wanita, dan kami
semua duduk di lantai di atas tumit kami, menghadap arah jendela.
Terasa asing. Saya tak mengenal seorang pun. Mungkin, saya berada di
Negara lain. Kami menunduk serentak, muka kami menghadap lantai.
Semuanya tenang dan hening, bagaikan semua suara dimatikan. Kami
serentak kami kembali duduk di atas tumit kami. Saat saya melihat ke
depan, saya sadar kami dipimpin oleh seseorang di depan yang berada di
sisi kiri saya, di tengah kami, di bawah jendela. Ia berdiri sendiri.
Saya hanya bisa melihat singkat punggungnya. Ia memakai jubah putih
panjang. Ia mengenakan selendang putih di kepalanya, dengan desain
merah. Saat itulah saya terbangun.
Sepanjang sepuluh tahun
menjadi atheis, Jeffrey Lang beberapa kali mengalami mimpi yang sama.
Bagaimanapun, ia tak terganggu dengan mimpi itu. Ia hanya merasa nyaman
saat terbangun. Sebuah perasaan nyaman yang aneh. Ia tak tahu apa itu.
Tak ada logika di balik itu, dan karenanya ia tak peduli kendati mimpi
itu berulang.
Sepuluh tahun kemudian, saat pertama kali memberi
kuliah di University of San Fransisco, dia bertemu murid Muslim yang
mengikuti kelasnya. Tak hanya dengan sang murid, Jeffrey pun tak lama
kemudian menjalin persahabatan dengan keluarga sang murid. Agama bukan
menjadi topik bahasan saat Jeffrey menghabiskan waktu dengan keluarga
sang murid. Hingga setelah beberapa waktu salah satu anggota keluarga
sang murid memberikan Alquran kepada Jeffrey.
Kendati tak
sedang berniat mengetahui Islam, Jeffrey mulai membuka-buka Alquran dan
membacanya. Saat itu kepalanya dipenuhi berbagai prasangka.
“Anda tak bisa hanya membaca Alquran, tidak bisa jika Anda tidak
menganggapnya serius. Anda harus, pertama, memang benar-benar telah
menyerah kepada Alquran, atau kedua, ‘menantangnya’,” ungkap Jeffrey.
Ia kemudian mendapati dirinya berada di tengah-tengah pergulatan yang
sangat menarik. “Ia (Alquran) ‘menyerang’ Anda, secara langsung,
personal. Ia (Alquran) mendebat, mengkritik, membuat (Anda) malu, dan
menantang. Sejak awal ia (Alquran) menorehkan garis perang, dan saya
berada di wilayah yang berseberangan.”
“Saya menderita
kekalahan parah (dalam pergulatan). Dari situ menjadi jelas bahwa Sang
Penulis (Alquran) mengetahui saya lebih baik ketimbang diri saya
sendiri,” kata Jeffrey. Ia mengatakan seakan Sang Penulis membaca
pikirannya. Setiap malam ia menyiapkan sejumlah pertanyaan dan
keberatan, namun selalu mendapati jawabannya pada bacaan berikutnya,
seiring ia membaca halaman demi halaman Alquran secara berurutan.
“Alquran selalu jauh di depan pemikiran saya. Ia menghapus aral yang
telah saya bangun bertahun-tahun lalu dan menjawab pertanyaan saya.”
Jeffrey mencoba melawan dengan keras dengan keberatan dan pertanyaan,
namun semakin jelas ia kalah dalam pergulatan. “Saya dituntun ke sudut
di mana tak ada lain selain satu pilihan.”
Saat itu awal
1980-an dan tak banyak Muslim di kampusnya, University of San Fransisco.
Jeffrey mendapati sebuah ruangan kecil di basement sebuah gereja di
mana sejumlah mahasiswa Muslim melakukan sholat. Usai pergulatan panjang
di benaknya, ia memberanikan diri untuk mengunjungi tempat itu.
Beberapa jam mengunjungi di tempat itu, ia mendapati dirinya mengucap
syahadat. Usai syahadat, waktu shalat dzuhur tiba dan ia pun diundang
untuk berpartisipasi. Ia berdiri dalam deretan dengan para mahasiswa
lainnya, dipimpin imam yang bernama Ghassan. Jeffrey mulai mengikuti
mereka shalat berjamaah.
Jeffrey ikut bersujud. Kepalanya
menempel di karpet merah-putih. Suasananya tenang dan hening, bagaikan
semua suara dimatikan. Ia lalu kembali duduk di antara dua sujud.
“Saat saya melihat ke depan, saya bisa melihat Ghassan, di sisi kiri
saya, di tengah-tengah, di bawah jendela yang menerangi ruangan dengan
cahaya. Dia sendirian, tanpa barisan. Dia mengenakan jubah putih
panjang. Selendang (scarf) putih menutupi kepalanya, dengan desain
merah.”
“Mimpi itu! Saya berteriak dalam hati. Mimpi itu,
persis! Saya telah benar-benar melupakannya, dan sekarang saya tertegun
dan takut. Apakah ini mimpi? Apakah saya akan terbangun? Saya mencoba
fokus apa yang terjadi untuk memastikan apakah saya tidur. Rasa dingin
mengalir cepat ke seluruh tubuh saya. Ya Tuhan, ini nyata! Lalu rasa
dingin itu hilang, berganti rasa hangat yang berasal dari dalam. Air
mata saya bercucuran.”
Ucapan ayahnya sepuluh tahun silam
terbukti. Ia kini berlutut, dan wajahnya menempel di lantai. Bagian
tertinggi otaknya yang selama ini berisi seluruh pengetahuan dan
intelektualitasnya kini berada di titik terendah, dalam sebuah
penyerahan total kepada Allah SWT.
Jeffrey Lang merasa Tuhan
sendiri yang menuntunnya kepada Islam. “Saya tahu Tuhan itu selalu
dekat, mengarahkan hidup saya, menciptakan lingkungan dan kesempatan
untuk memilih, namun tetap meninggalkan pilihan krusial kepada saya,”
ujar Jeffrey kini.
Jeffrey kini professor jurusan matematika
University of Kansas dan memiliki tiga anak. Ia menulis tiga buku yang
banyak dibaca oleh Muslim AS: Struggling to Surrender (Beltsville,
1994); Even Angels Ask (Beltsville, 1997); dan Losing My Religion: A
Call for Help (Beltsville, 2004). Ia memberi kuliah di banyak kampus dan
menjadi pembicara di banyak konferensi Islam.
Courtesy: Islam.thetruecall.com
Selasa, 27 Maret 2012
Islamic Motivation
Diposting oleh
Hariz Pratomo
di
11.07
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar